Gara-gara liat kutipan di buku yang lagi gue baca jadi dapet inspirasi bikin konten di blog. :)
"Berjalan-jalanlah. Kita perlu berjalan-jalan di luar, supaya pikiran kita dapat disehatkan dan disegarkan oleh suara terbuka dan tarikan napas yang dalam." -Seneca
Kemudian menjadi sumber inspirasi bagi Friedrich Nietzsche menghasilkan karya-karyanya saat dan setelah melakukan aktivitas berjalan-jalan, dalam hal ini berjalan kaki. Cuma jangan dibayangin Nietzsche jalan kakinya di daerah kawasan industri macem di Kabupaten Serang ini. Wkwkwk. Bukan ketenangan yang didapet tapi malah emosi. Beliau berjalan kaki di sekitaran danau, bukit, hutan pinus, di kaki Gunung Engadine Atas, atau kalau lagi musim dingin beliau jalan kakinya di sekitaran kota kecil di Genoa.
Gue sih maunya kalo lagi di rumah dan pengen ke Indomaret atau sekadar jajan beli gorengan ke depan itu ya jalan kaki aja gitu, toh deket. Tapi, jalan kaki di tempat gue, tuh, ibarat nganterin nyawa cuma-cuma. Jalan udah mepet ke pinggir aja, nih, udah diklaksonin angkot sama motor, astaga. Belum lagi banyak banget kendaraan berat macem truk, mobil molen, kontainer, yang gitu-gitu dah. Masih sayang nyawa mending gue tahan rasa ingin jajannya, atau kalo terpaksa banget, ya, milih ngeluarin motor yang pasti ngeluarin energi lebih banyak, ditarik-tarik motornya takut nyenggol kusen pintu.
Setop ngebahas kabupaten gue dibanding-bandingin dengan Swis dan Italy, jauh panggang dari api. Gue mau sharing pengalaman berjalan kaki yang menurut gue paling berkesan. Berkesan dalam arti gue merasa tenang, damai, hening meski bukan di tempat seperti hutan atau di kaki gunung. Tepatnya di tengah kota Jakarta. Waktu itu gak sengaja sama si kawan seperti biasa habis pulang nge-trip cari stasiun terdekat. Dari hotel ke Stasiun Cikini kami putuskan berjalan kaki sejauh 1,5 km, waktu tempuh 20 menitan. Dengan beban ransel yang menempel di punggung meski berat tapi gue menikmati setiap langkah menuju stasiun. Gue kok merasa adem, tenang, selama perjalanan gak riuh dengan kendaraan dan masih ada pepohonan rindang untuk menutupi terik. Cukup teduh untuk ukuran kota Jakarta.
Dari situ lah akhirnya gue pengen suatu waktu melakukan perjalanan yang sama -berjalan kaki- di tempat yang sama, sendiri, tanpa partner dan beban ransel.
Kebetulan gue suka banget dengan taman, gue betah duduk berlama-lama di taman baik ramean atau sendiri. Dan taman terbaik sejauh ini jatuh kepada Taman Suropati. Wakakak. Gue jauh-jauh dari Serang ke Jakarta cuma ingin duduk di taman berjam-jam. Belum seberapa, sih, kalau ke Jakarta. Karena pernah waktu itu sangking pengen banget duduk di taman, gue keretaan sampe ke Kebun Raya Bogor. Di situ gue cuma duduk selama dua jam, terus pulang. Emang random banget, sih. Tapi emang yang dicari adalah ketenangannya. Gue suka kereta, buku, jalan kaki, dan taman. Ketika empat amunisi itu jadi satu rasanya kayak dapet nikmat besar dari Sang Pemilik Semesta.
Tentang kereta dan taman kayaknya pernah gue bahas entah di blog ini atau di jawaban Quora, yang pasti sekarang ngasih ruang untuk 'jalan kaki'.
Dari sekian pengalaman berjalan kaki, rute dari Stasiun Sudirman ke Taman Suropati adalah yang paling gue suka. Mungkin karena di situ kawasan komplek rumah orang kaya jadi beda kali suasananya, ya. Wkwkwk. Gak gitu. Lebih ke sepanjang jalannya adem, rindang, ada suara hiruk-pikuk ala kota besar tapi terdengar jauh sekali. Tenang, saat jalan gue ngobrol dengan diri sendiri, relaksasi, gak perlu menyamakan langkah dengan teman seperjalanan karena gue jalan sendirian, lepasin semua identitas diri dan topeng sosial, lupa sejenak cucian piring, atau motor yang belum ganti oli. Suatu gambaran kesederhanaan perihal kebahagiaan dapat dirasakan sewaktu berjalan kaki.
Sebagai penutup ada satu kutipan yan gue suka:
"Duduklah sesedikit mungkin, jangan percaya ide apa pun yang tidak lahir dari udara terbuka dan gerakan kaki yang bebas!" -Nietzsche