"Dalam luasnya antariksa dan panjangnya waktu, bahagia rasanya bisa menempati planet dan zaman yang sama dengan Lionel Messi."
Kutipan tersebut -dengan sedikit mengubah kalimat pembuka sebuah buku karya Carl Sagan- adalah gambaran umum perasaan fans FC Barcelona di seluruh dunia saat ini, termasuk saya.
Sumber Foto: Google
Beberapa hari terakhir berita kepergian Messi dari Barcelona sedikit mengusik ketenangan saya. Momen yang seharusnya tidak pernah terjadi. Bahkan menurut kepercayaan kami dan dengan keyakinan penuh Messi akan dan mungkin bisa menghabiskan karirnya di Barcelona hingga pensiun. Memang benar jika tak ada yang abadi, nanti ada masanya dunia tidak bisa lagi menyaksikan kehebatan Messi di lapangan hijau atau hiruk-pikuk komparasi Messi dengan Ronaldo di media sosial. Namun, tidak dengan cara seperti ini, meski secara hitam di atas putih, habis dan/atau putus kontrak adalah hal yang wajar terjadi pada setiap pemain sepak bola. Messi pergi dengan status bebas transfer karena tenggat kontraknya habis per 30 Juni kemarin. Tidak ada yang salah. Yang salah mungkin perasaan kami para fans-nya. Hahaha.
Di balik kacaunya keuangan Barca dan ketatnya peraturan La Liga menyangkut gaji dan kontrak pemain, biarlah itu menjadi urusan internal petinggi-petinggi klub. Saya hanya akan melihat kepergian Messi dari sisi yang lebih humanis.
Saya mulai mencintai sepak bola sejak gelaran Piala Dunia 1998 yang dihelat di Perancis. Saat itu saya masih kelas 5 SD. Namun, cinta ini terpaksa harus saya pendam karena saya seorang wanita, tak elok rasanya menyukai permainan yang didominasi kaum Adam saat itu. Hingga di 2010 saya melihat sosok yang mencuri perhatian di Piala Dunia, siapa lagi kalau bukan Lionel Andres Messi. Pemain berkebangsaan Argentina ini mengingatkan saya pada aktor pemeran Pedro dalam telenovela Amigos, yaitu Martin Ricca. Wkwkwk. Setiap melihat Messi, saya terbayang dengan Pedro-nya Amigos di mana telenovela tersebut punya andil banyak mewarnai masa anak-anak dan remaja saya.
Sumber Foto: Google
Kembali pada ke-patah-hatian kami para Cules -sebutan untuk fans Barcelona, menempatkan 'keberuntungan' sebagai antidot rasa kecewa. Bumi merupakan rumah beratapkan langit luas, sejak terbentuknya empat miliar tahun yang lalu akibat kondensasi gas dan debu antarbintang-bintang, bumi terus berevolusi. Setelahnya, bumi merupakan tempat yang unik, tempat di mana manusia pertama diturunkan dan memulai perjalanan panjang terbentuknya kehidupan hingga sekarang. Bumi, sejak dimulainya kehidupan telah banyak melahirkan manusia dan zamannya di waktu yang relatif singkat. Peradaban dan penguasa silih berganti. Membayangkan zaman kenabian hingga kekaisaran Romawi kuno -mungkin hingga sekarang, timbul banyak pertanyaan dalam benak saya, sudah setua itu kah bumi dan nenek moyang kita? Berapa banyak manusia zaman dulu hingga sekarang yang pernah hidup di bumi? Dengan bentangan waktu yang begitu lama -ini ketika saya membayangakan kehidupan di tahun-tahun Sebelum Masehi dan setelahnya, saya merasa beruntung hidup sezaman dengan Messi, manusia yang dengan bakat alaminya membuat semua pencinta sepak bola kagum kepada La Pulga (Si Kutu), kecuali Madridista.
Tuhan memilih bumi sebagai satu-satunya benda langit yang dihuni oleh milyaran manusia, meski kita juga selalu senang jika membayangkan ada kehidupan di planet lain. Messi sering dianggap sebagai Alien karena kemampuannya di atas rata-rata manusia pada umumnya. Solo run-nya saat melewati hadangan tujuh pemain Getafe atau saat berhasil 'mengolongi' Jerome Boateng hingga terjatuh ketika laga melawan Bayern Munchen di Camp Nou. Itu semua menjadi bukti jeniusnya Messi mengobrak-abrik jantung pertahanan lawan. Setelah kejadian tersebut Bayern Munchen terdepak dari putaran UCL selanjutnya. Alih-alih Manuel Neuer ingin menunjukkan 'siapa bosnya' -sisa-sisa kepongahan ketika Jerman melawan Argentina di putaran final Piala Dunia 2014 setahun sebelumnya, kini yang terjadi sebalikanya. Tagar 'whoistheboss' dengan meme mengolok Neuer sempat ramai di dunia per-twitter-an saat itu. Ahahaha.
Saat menulis ini, saya sambil memantau press conference Messi untuk yang terakhir kalinya. Dari sekian alasan yang bisa membuat saya menangis, sepak bola adalah salah satunya. Para penikmat sepak bola pasti mengalami hal yang sama ketika tim kesayangan kita kalah di laga krusial atau menang di menit-menit akhir, termasuk drama di luar lapangan seperti jual-beli pemain, beberapa tangis mengiringi tiap momen karena sepak bola terlalu dalam melibatkan emosi para penonton dan memaksa kita berdiri di antara dua jurang, kemenangan dan kegagalan. Sebuah gambaran realisme nasib yang tersaji tidak hanya 90 menit di atas lapangan, namun ia merasuki pojok tersempit kehidupan.
Messi yang jenius maupun kita semua adalah spesies yang muncul sebentar lalu musnah. Kita memahami dunia, tempat di mana segala sesuatunya bisa berubah namun tetap sesuai dengan pola yang teratur. Tentang perpisahan, saya teringat salah satu lagu Mansyur S, kira-kira begini liriknya; bukan perpisahan kutangisi, hanya pertemuan kusesali. Mungkin jika lagu dangdut ini sampai ke telinga Messi pasti akan diputar-ulang selama beberapa hari ini. Selama itu pula para fans berusaha membiasakan diri melihat pemandangan Camp Nou tanpa Messi.
Pada akhirnya, kekaguman dan keterpukauan akan Messi ketika berseragam FC Barcelona hanya akan menjadi nostalgia yang tak putus-putus.
Gracias, Capitan.