Gambar Ilustrasi @pixabay
Hari itu gue ditelepon oleh si kawan dan ngabarin kalau lusa dia ada tugas dinas ke Jakarta. Seperti biasanya, kalau udah begitu biasanya doi nyuruh gue nemenin dia selama di Jakarta. Gue, sih, oke. Sampai hari yang ditunggu tiba. Kami janjian ketemu di bandara pukul lima sore. Tapi, karena satu hal, gue telat dateng dari jam yang sudah dijanjikan. Macet, coy. Dari nada chat yang doi kirim ke gue, sepertinya dia udah ngerasa kesel banget gara-gara sampe jam lima gue gak nongol juga. Sebagai tuan rumah yang baik, gue berusaha sabar ngadepin ocehan si kawan ini.
Mungkin karena kondisi badan yang udah capek menempuh perjalanan Makassar - Jakarta, si kawan ini makin uring-uringan dan ngancem akan balik lagi bilang kalau sebaiknya kami langsung ketemu di hotel aja. Padahal waktu itu posisi bus yang gue tumpangi udah hampir memasuki kawasan sekitar bandara. Tapi, biar hati doi adem, gue iyain aja kalau mau ketemu langsung di hotelnya. Cuma masalahnya, doi belum booking hotel. Untuk melampiaskan kekesalannya, jadilah gue bulan-bulanannya si kawan, doi nyuruh gue yang cari hotelnya. Demi terciptanya perdamaian di bumi, gue ubek-ubeklah Traveloka cari hotel. Dari sekian hotel yang gue rekomendasiin, gak ada satu pun yang sreg di hati beliau ini. Akhirnya, dia sendiri yang berusaha cari hotelnya.
Kami terus bertukar pesan watsap. Doi bilang udah dapet hotelnya. Gue balas lagi kalau sebaiknya tunggu gue karena sebentar lagi sampai bandara. Beliau mengalah mau nunggu gue juga akhirnya.
Masih via watsap, iseng, gue tanya si kawan nama hotel yang baru dipesannya. Begitu si kawan sebutin nama hotelnya, ya, gue iseng buka aplikasi buat baca reviews-nya. Terhenyak, dong, gue begitu baca ulasan dari orang-orang yang pernah menginap di situ. Tujuh puluh persen isinya menceritakan bahwa hotel tersebut "agak" angker. Njir, mampus gue. Secepat kilat gue chat si kawan dan nanya apa nggak salah pesan hotel itu? Dia balik nanya, "Emang kenapa sama hotelnya?" Ya, gue suruh doi baca reviews-nya, dong. Nurut dia. Beberapa menit kemudian doi chat lagi dan sama terhenyaknya kayak gue, tapi udah terlanjur bayar, sih, soalnya tadi sebelum booking gak kepikiran buat baca-baca ulasannya karena doi kecapean dan kesel sama gue yang belum dateng juga. Gue lagi kena getahnya. Jadi, intinya ini semua salah gue. Gara-gara gue telat beberapa jam (doang). Dari situ gue dan si kawan coba mengabaikan kenyataan yang baru kami baca di ulasan. Ya, anggap aja kita gak tau apa-apa tentang cerita hotel tersebut.
Sampai lah gue di bandara. Ketemu si kawan yang mukanya udah kayak ubi rebus, biru. Kalau udah begini, gue, sih, senyum-senyum tanpa dosa aja.
Untuk menuju hotel di kawasan Jakarta Selatan tersebut, kami memesan GrabCar. Sayangnya, pesan taksi online di bandara ini harus main kucing-kucingan dengan petugas. Untungnya ini bisa diatasi. Kami yang harus nyamperin mobilnya di parkiran. Begitu ketemu mobil yang kami pesan dan kemudian masuk, duduk, si driver-nya sambil memegang smartphone langsung nanya setengah penasaran, "Bener, Mbak, mau diantar ke hotel X?" "Iya, Mas..." (niatnya gue mau lanjutin nanya, "Emang kenapa?", tapi gue urungkan). Eh, si Masnya malah nanya penasaran dan gak percaya kalau kami benar-benar mau menuju ke hotel tersebut, "Mbaknya mau menginap di hotel itu?" dengan mimik muka kayak yang nggak percaya gitu. Mungkin dalam hatinya belio nanya, "Serius kalian pada mau nginap di hotel yang udah terkenal angker itu?" Gue bisa menangkap isi kepala si Masnya. Gue jawab dengan nada do=C, "Iya, Mas, kita mau nginap di situ," jawab gue sambil natap muka si kawan yang sama-sama penasaran, kata-kata apa lagi yang bakal keluar dari mulut si Masnya.
"Itu kan...?" si Masnya udah mau nerusin kata-katanya tapi keburu gue setop, "Iya, Mas, nggak usah diterusin. Maksudnya hotel itu angker, kan?"
"Nah, itu si Mbaknya tau, kenapa nginap di situ?"
"Serius? Emang beneran, Mas?"
"Ya, gimana, sih, Mbak. Ya, hotel itu, sih, udah bukan rahasia umum lagi. Cerita keangkerannya udah ke mana-mana. Makanya saya heran dapet order-an minta dianter ke hotel X."
Hhh...
Mulai dari situ lah gue dan si kawan mulai saling menyalahkan. Sementara si Masnya masih terus ngoceh dengan cerita keangkeran hotel tersebut, kami berupaya mencari cara agar kita gak mati ketakutan karena nginap di hotel itu. Cancel. Ya! Satu-satunya cara adalah dengan membatalkan pemesanan. Selama di perjalanan (dengan si Masnya masih menakuti kami dengan cerita-cerita mistisnya) gue ngubek-ubek customer service Traveloka, coba telepon. Nyambung. Tapi, rupanya jawaban yang kami terima tidak seperti yang kami harapkan. Sekali pun cancel, ya, gak bisa refund. Pfft... Terpaksa kami tetap akan menginap di hotel tersebut selama dua hari. Ya, dua hari.
Driver-nya emang agak sedikit jahil. Gue berusaha mengalihkan pembicaraan, supaya gue gak ketakutan, tapi belio makin asik dengan cerita seramnya. Gue dan si kawan masih terus berusaha menjauhkan pikiran-pikiran negatif tentang hotel tersebut. Berusaha menepis bahwa apa yang kami baca dan kami dengar semuanya itu tidak benar.
Kebetulan malam itu adalah malam Minggu. Suasana kota Jakarta seperti biasanya tak pernah berhenti dari keriuhannya. Gue menatap dari kaca jendela mobil, sorak-sorai The Jakmania mulai merayap ke telinga. Langkah kaki fandom tim kesebelasan ibukota mulai berbaur dengan roda kendaraan yang tak bisa bergerak bebas. Malam itu ada laga partai final Piala Presiden yang mempertemukan Persija dengan Bali United di Gelora Bung Karno. Untuk menghilangkan rasa takut, gue berinisiatif mengajak si kawan agar menonton langsung pertandingan tersebut. Maksud gue, ya, menghabiskan malam dengan kegembiraan. Jadi, begitu nyampe hotel dengan kondisi lelah, setidaknya kami bisa langsung tidur dan gak memikirkan cerita seram tadi. Namun, si kawan yang bukan pencinta sepakbola, jelas menolak mentah-mentah ajakan gue. Hhh.
Sesuatu yang tak diharapkan pun tiba. Kendaraan yang kami tumpangi mendarat persis di depan lobi hotel. Hawa lembap menyapa tubuh kami saat mendapati bangunan besar nan kokoh yang ada di hadapan kami lebih mirip dengan bangunan tua seperti di film-film horror ketimbang sebuah hotel. Nuansa klasik dengan tiang-tiang besar menambah keangkuhan bangunan ini pada zamannya.
Lagi-lagi, si driver yang jahil ini, mengucapkan kata-kata terakhir yang bikin gue "yaelah" banget, "Mbak, kalo ntar ada kejadian apa-apa, kabarin saya, tau nomornya, kan?" sambil cekikikan.
Demi apa pun, gue gak suka dengan hawa-hawa merinding disko yang dihantarkan oleh si hotel ini. Saat itu hotel sebetulnya gak sepi-sepi banget. Banyak tamu lalu-lalang. Tapi, entah kenapa yang gue rasakan, tuh, dingin. Bukan dingin karena AC. Ya, dingin gimana, sih. Kayak hampa aja gitu. Rame tapi kosong, hambar, apa lah. Gitu aja pokoknya.
Setelah menyelesaikan urusan di resepsionis, kami pun langsung menuju kamar di lantai 4. Lorong di sekitar lift sepi. Sunyi. Gue tau apa yang dipikirkan si kawan. Pun dengan si kawan, sepertinya tau apa yang tengah gue pikirkan. Ciye saling mikirin. Sesekali kami saling bertatapan, tanpa mengucap sepatah kata pun. Kami berbahasa lewat tatapan mata, menambah dingin suasana.
TING!!! Rupanya bunyi bel tanda lift terbuka mengejutkan kami. Gimana nggak kaget, selama nunggu lift terbuka, kami cuma diam terhanyut dengan pikiran masing-masing.
Lift tanpa penumpang lain, hanya kami berdua. Gue berbisik, "Kita akan baik-baik aja, kan?" "Iya, gpp..." jawab si kawan kurang meyakinkan.
TING!!! Kami keluar dari lift. Wuuzzz.... Kembali, hawa merinding disko menyambut kedatangan kami di lantai empat. Suasananya sepi, nggak ada orang sama sekali. Lorong-lorong menuju kamar seperti hendak menelan kami hidup-hidup. Detak jantung gue udah gak beraturan, dengkul gue lemes gemeteran. Gue bukan termasuk orang-orang yang penakut terhadap hal-hal mistis begini. Tapi kali ini gue ngerasain sendiri rasanya ketakutan. Gue kayak mau nyerah. Padahal dari tadi gue gak ngalamin hal yang janggal seperti ngedenger suara, atau dicolek setannya langsung, nggak. Tapi, kenapa gue bisa ketakutan separah ini. Nggak ngerti. Dan ini belum apa-apa. Begitu kami masuk kamar, terutama gue, tiba-tiba punggung gue terasa panas, bahu gue berasa berat kaya ada yang lendotan. Dengan nada lemas gue berbisik ke si kawan, "Kita harus cepet-cepet keluar." Si kawan sepertinya paham apa yang gue rasakan walaupun saat itu gue gak bilang ke doi apa yang lagi gue rasain. Gue pikir nanti aja lah ceritanya kalo lagi di luar.
Sangking ketakutannya, ke kamar mandi pun pintunya gak berani ditutup rapat. Hahaha
Setelah naro tas dan sedikit touch up muka yang udah gak simetris, kami pun pergi ke luar cari makan sambil menikmati suasana malam ibukota. Di situlah gue bercerita apa yang gue alami barusan. Dari situ kemudian kami memutuskan untuk nongkrong di luar sampai larut dengan tujuan, ketika sampai di kamar langsung tidur.
Alhamdulillah, karena kecapean dan ngantuk banget, gue tidur pulas tanpa terbangun dan berhasil melalui malam tanpa ketakutan. Lain halnya dengan si kawan. Doi justru sering kebangun saat tidur.
Hari kedua kami check out dan memutuskan untuk tidak extend di sisa satu hari si kawan selesai tugas. Setelah apa yang kami alami, kami pun lebih memilih mencari hotel yang lain.
Dapatlah kami hotel di kawasan Jakarta Barat. Kali ini jelas lebih nyaman, selain memang hotel ini adalah bangunan baru dan sepertinya juga baru dibuka beberapa bulan yang lalu, juga dekat dengan keramaian, Stasiun Tanah Abang.
Mungkin karena sangking senangnya gue terlepas dari jerat mistis si hotel yang pertama, gue baru 'ngeh kalau ternyata kerudung gue yang satu ketinggalan di hotel itu. Hadeuh. Mungkin setannya pengen kali, yah. Hehehe
Masih via watsap, iseng, gue tanya si kawan nama hotel yang baru dipesannya. Begitu si kawan sebutin nama hotelnya, ya, gue iseng buka aplikasi buat baca reviews-nya. Terhenyak, dong, gue begitu baca ulasan dari orang-orang yang pernah menginap di situ. Tujuh puluh persen isinya menceritakan bahwa hotel tersebut "agak" angker. Njir, mampus gue. Secepat kilat gue chat si kawan dan nanya apa nggak salah pesan hotel itu? Dia balik nanya, "Emang kenapa sama hotelnya?" Ya, gue suruh doi baca reviews-nya, dong. Nurut dia. Beberapa menit kemudian doi chat lagi dan sama terhenyaknya kayak gue, tapi udah terlanjur bayar, sih, soalnya tadi sebelum booking gak kepikiran buat baca-baca ulasannya karena doi kecapean dan kesel sama gue yang belum dateng juga. Gue lagi kena getahnya. Jadi, intinya ini semua salah gue. Gara-gara gue telat beberapa jam (doang). Dari situ gue dan si kawan coba mengabaikan kenyataan yang baru kami baca di ulasan. Ya, anggap aja kita gak tau apa-apa tentang cerita hotel tersebut.
Sampai lah gue di bandara. Ketemu si kawan yang mukanya udah kayak ubi rebus, biru. Kalau udah begini, gue, sih, senyum-senyum tanpa dosa aja.
Untuk menuju hotel di kawasan Jakarta Selatan tersebut, kami memesan GrabCar. Sayangnya, pesan taksi online di bandara ini harus main kucing-kucingan dengan petugas. Untungnya ini bisa diatasi. Kami yang harus nyamperin mobilnya di parkiran. Begitu ketemu mobil yang kami pesan dan kemudian masuk, duduk, si driver-nya sambil memegang smartphone langsung nanya setengah penasaran, "Bener, Mbak, mau diantar ke hotel X?" "Iya, Mas..." (niatnya gue mau lanjutin nanya, "Emang kenapa?", tapi gue urungkan). Eh, si Masnya malah nanya penasaran dan gak percaya kalau kami benar-benar mau menuju ke hotel tersebut, "Mbaknya mau menginap di hotel itu?" dengan mimik muka kayak yang nggak percaya gitu. Mungkin dalam hatinya belio nanya, "Serius kalian pada mau nginap di hotel yang udah terkenal angker itu?" Gue bisa menangkap isi kepala si Masnya. Gue jawab dengan nada do=C, "Iya, Mas, kita mau nginap di situ," jawab gue sambil natap muka si kawan yang sama-sama penasaran, kata-kata apa lagi yang bakal keluar dari mulut si Masnya.
"Itu kan...?" si Masnya udah mau nerusin kata-katanya tapi keburu gue setop, "Iya, Mas, nggak usah diterusin. Maksudnya hotel itu angker, kan?"
"Nah, itu si Mbaknya tau, kenapa nginap di situ?"
"Serius? Emang beneran, Mas?"
"Ya, gimana, sih, Mbak. Ya, hotel itu, sih, udah bukan rahasia umum lagi. Cerita keangkerannya udah ke mana-mana. Makanya saya heran dapet order-an minta dianter ke hotel X."
Hhh...
Mulai dari situ lah gue dan si kawan mulai saling menyalahkan. Sementara si Masnya masih terus ngoceh dengan cerita keangkeran hotel tersebut, kami berupaya mencari cara agar kita gak mati ketakutan karena nginap di hotel itu. Cancel. Ya! Satu-satunya cara adalah dengan membatalkan pemesanan. Selama di perjalanan (dengan si Masnya masih menakuti kami dengan cerita-cerita mistisnya) gue ngubek-ubek customer service Traveloka, coba telepon. Nyambung. Tapi, rupanya jawaban yang kami terima tidak seperti yang kami harapkan. Sekali pun cancel, ya, gak bisa refund. Pfft... Terpaksa kami tetap akan menginap di hotel tersebut selama dua hari. Ya, dua hari.
Driver-nya emang agak sedikit jahil. Gue berusaha mengalihkan pembicaraan, supaya gue gak ketakutan, tapi belio makin asik dengan cerita seramnya. Gue dan si kawan masih terus berusaha menjauhkan pikiran-pikiran negatif tentang hotel tersebut. Berusaha menepis bahwa apa yang kami baca dan kami dengar semuanya itu tidak benar.
Kebetulan malam itu adalah malam Minggu. Suasana kota Jakarta seperti biasanya tak pernah berhenti dari keriuhannya. Gue menatap dari kaca jendela mobil, sorak-sorai The Jakmania mulai merayap ke telinga. Langkah kaki fandom tim kesebelasan ibukota mulai berbaur dengan roda kendaraan yang tak bisa bergerak bebas. Malam itu ada laga partai final Piala Presiden yang mempertemukan Persija dengan Bali United di Gelora Bung Karno. Untuk menghilangkan rasa takut, gue berinisiatif mengajak si kawan agar menonton langsung pertandingan tersebut. Maksud gue, ya, menghabiskan malam dengan kegembiraan. Jadi, begitu nyampe hotel dengan kondisi lelah, setidaknya kami bisa langsung tidur dan gak memikirkan cerita seram tadi. Namun, si kawan yang bukan pencinta sepakbola, jelas menolak mentah-mentah ajakan gue. Hhh.
Sesuatu yang tak diharapkan pun tiba. Kendaraan yang kami tumpangi mendarat persis di depan lobi hotel. Hawa lembap menyapa tubuh kami saat mendapati bangunan besar nan kokoh yang ada di hadapan kami lebih mirip dengan bangunan tua seperti di film-film horror ketimbang sebuah hotel. Nuansa klasik dengan tiang-tiang besar menambah keangkuhan bangunan ini pada zamannya.
Lagi-lagi, si driver yang jahil ini, mengucapkan kata-kata terakhir yang bikin gue "yaelah" banget, "Mbak, kalo ntar ada kejadian apa-apa, kabarin saya, tau nomornya, kan?" sambil cekikikan.
Demi apa pun, gue gak suka dengan hawa-hawa merinding disko yang dihantarkan oleh si hotel ini. Saat itu hotel sebetulnya gak sepi-sepi banget. Banyak tamu lalu-lalang. Tapi, entah kenapa yang gue rasakan, tuh, dingin. Bukan dingin karena AC. Ya, dingin gimana, sih. Kayak hampa aja gitu. Rame tapi kosong, hambar, apa lah. Gitu aja pokoknya.
Setelah menyelesaikan urusan di resepsionis, kami pun langsung menuju kamar di lantai 4. Lorong di sekitar lift sepi. Sunyi. Gue tau apa yang dipikirkan si kawan. Pun dengan si kawan, sepertinya tau apa yang tengah gue pikirkan. Ciye saling mikirin. Sesekali kami saling bertatapan, tanpa mengucap sepatah kata pun. Kami berbahasa lewat tatapan mata, menambah dingin suasana.
TING!!! Rupanya bunyi bel tanda lift terbuka mengejutkan kami. Gimana nggak kaget, selama nunggu lift terbuka, kami cuma diam terhanyut dengan pikiran masing-masing.
Lift tanpa penumpang lain, hanya kami berdua. Gue berbisik, "Kita akan baik-baik aja, kan?" "Iya, gpp..." jawab si kawan kurang meyakinkan.
TING!!! Kami keluar dari lift. Wuuzzz.... Kembali, hawa merinding disko menyambut kedatangan kami di lantai empat. Suasananya sepi, nggak ada orang sama sekali. Lorong-lorong menuju kamar seperti hendak menelan kami hidup-hidup. Detak jantung gue udah gak beraturan, dengkul gue lemes gemeteran. Gue bukan termasuk orang-orang yang penakut terhadap hal-hal mistis begini. Tapi kali ini gue ngerasain sendiri rasanya ketakutan. Gue kayak mau nyerah. Padahal dari tadi gue gak ngalamin hal yang janggal seperti ngedenger suara, atau dicolek setannya langsung, nggak. Tapi, kenapa gue bisa ketakutan separah ini. Nggak ngerti. Dan ini belum apa-apa. Begitu kami masuk kamar, terutama gue, tiba-tiba punggung gue terasa panas, bahu gue berasa berat kaya ada yang lendotan. Dengan nada lemas gue berbisik ke si kawan, "Kita harus cepet-cepet keluar." Si kawan sepertinya paham apa yang gue rasakan walaupun saat itu gue gak bilang ke doi apa yang lagi gue rasain. Gue pikir nanti aja lah ceritanya kalo lagi di luar.
Sangking ketakutannya, ke kamar mandi pun pintunya gak berani ditutup rapat. Hahaha
Setelah naro tas dan sedikit touch up muka yang udah gak simetris, kami pun pergi ke luar cari makan sambil menikmati suasana malam ibukota. Di situlah gue bercerita apa yang gue alami barusan. Dari situ kemudian kami memutuskan untuk nongkrong di luar sampai larut dengan tujuan, ketika sampai di kamar langsung tidur.
Alhamdulillah, karena kecapean dan ngantuk banget, gue tidur pulas tanpa terbangun dan berhasil melalui malam tanpa ketakutan. Lain halnya dengan si kawan. Doi justru sering kebangun saat tidur.
Hari kedua kami check out dan memutuskan untuk tidak extend di sisa satu hari si kawan selesai tugas. Setelah apa yang kami alami, kami pun lebih memilih mencari hotel yang lain.
Dapatlah kami hotel di kawasan Jakarta Barat. Kali ini jelas lebih nyaman, selain memang hotel ini adalah bangunan baru dan sepertinya juga baru dibuka beberapa bulan yang lalu, juga dekat dengan keramaian, Stasiun Tanah Abang.
Mungkin karena sangking senangnya gue terlepas dari jerat mistis si hotel yang pertama, gue baru 'ngeh kalau ternyata kerudung gue yang satu ketinggalan di hotel itu. Hadeuh. Mungkin setannya pengen kali, yah. Hehehe