Malam ini, melalui sambungan telepon, sepupu gue bercerita tentang kejadian yang baru dia alami siang tadi.
Sebelumnya gue kasih gambaran dulu sekilas situasinya karena masih ada hubungannya dengan gue.
Gue meminta tolong sepupu gue ini untuk mengurusi perkara STNK motor gue yang disita (karena ditilang) di Kantor Pengadilan Rangkasbitung. Urusannya sangat ribet dan berbelit. Tau, lah, ya birokrasi kita kayak gimana. Tapi, gue gak mau bahas panjang-lebar perkara "tilang" ini di sini. Mungkin setelah urusannya selesai, STNK udah di tangan, gue akan bikin tulisannya terpisah. Bikin geregetan pokoknya.
Sepupu gue berdomisili di Cilegon, pagi-pagi dia berangkat ke Stasiun Merak untuk mengejar kereta jurusan Rangkasbitung yang berangkat pukul 05.30 WIB. Dengan membawa bekal sebungkus nasi dan lauk ikan sarden yang sempat dimasaknya pukul empat pagi, berangkat lah ia. Sebuah dompet kecil ia bawa untuk menampung beberapa kartu dan kertas usang seperti; KTP, ATM tak bersaldo, Kartu BPJS, Kartu Mahasiswa jaman mudanya dulu, Kartu Keanggotaan Multi Level Marketing, Kartu Pelajar anaknya yang masih TK, lipatan Surat Kuasa yang melimpahkan ke sepupu gue untuk mengurusi perkara tersebut, sampai selipan kertas kecil catatan nama orang-orang yang ngredit Tupperware pun ada. Dan tak luput beberapa lembar mata uang rupiah yang berjumlah Rp 40.000 ikut berjejal rapi di dompet yang resletingnya harus dibuka-tutup berkali-kali biar tertutup sempurna.
Dari rumahnya, dia naik angkot ke Stasiun Merak, uang pecahan lima ribu rupiah keluar dari dompetnya. Perlu usaha keras untuk menutup resleting dompetnya agar kembali tertutup. Maka dia berinisiatif untuk menaruh sisa uangnya di saku celana.
Langsung membeli tiket kereta seharga Rp 3.000, tak lama kemudian kereta datang tepat waktu. Butuh waktu satu setengah jam perjalanan Stasiun Merak - Rangkasbitung. Tersisa uang sebesar Rp 32.000 yang akan ia gunakan untuk sekadar jajan es cincau capuchino, siomay, atau telor puyuh. Tak lupa tentunya menyisakan untuk ongkos pulang.
Karena berangkat pagi-pagi sekali, ia tak sempat sarapan. Di depan kantor pengadilan, sambil duduk di atas anak tangga, menunggu namanya disebut oleh panitera, kemudian ia membuka bekal nasi dan lauk sardennya. Kertas katalog Tupperware yang jadi pembungkus luar nasi terlihat transparan. Sepertinya minyak yang dikeluarkan dari lauk sarden sudah mulai "jedogan" merayapi kertas katalog edisi bulan Oktober tersebut. Bergegas ia memakannya.
"Anisa!" Terdengar suara dari dalam ruangan memanggil namanya. Kini gilirannya.
"Ibu mewakilkan atas nama orang lain? Kalau iya, silakan tunjukkan KTP dan Surat Kuasa dari orang yang menguasakan," kata si panitera.
"Ini, Pak!" sambil menyodorkan KTP dan Surat Kuasa yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Oh, enggak, Bu, cukup KTP, untuk Surat Kuasa sudah kami persiapkan, silakan Ibu membayar uang sebesar Rp 30.000 dan langsung tanda tangan di atas materai," sanggah si panitera.
Anjir! Selembar Surat Kuasa aja pake dibisnisin! Kampret lah! Padahal sepupu gue udah capek-capek bikin Surat Kuasanya dari rumah dan diprint di warnet. Sudah lengkap dengan tanda tangan si pemberi kuasa. Di sana ditolak mentah-mentah dengan alasan "sudah disiapkan dari sini". Kenapa gak bilang dari kemaren kampret? Kan dia udah bolak-balik dua hari ke pengadilan. Kalau dibilang dari awal, dia gak akan capek-capek bikin itu surat malam hari setelah dia balik dari pengadilan di hari yang pertama.
Oke..oke.. Gue gak boleh kebawa emosi dulu. Nanti ada tulisannya terpisah buat numpahin emosi gue tentang birokrasi yang super ribet ini.
Duit dia kan tinggal Rp 32.000, mau gak mau dia serahkan juga Rp 30.000 untuk "beli" Surat Kuasa "yang sudah disiapkan". Ditandatangani oleh sepupu gue sendiri. Jadi, nggak butuh lagi tuh yang namanya harus ada tanda tangan dari pihak si pemberi kuasa.
Belum sampe di situ, duit sepupu gue yang tinggal selembar-lembarnya -dua ribu rupiah- masih harus mengumpulkan fotokopi KTP. Pergi lah dia ke tukang fotokopi, habis seribu rupiah. Jadi, sisa uang dia di kantong bener-bener tinggal seribu rupiah. Dia sempet nelpon ke gue pas gue lagi ngajar di kelas. Berarti itu sebelum Dzuhur. Dia bilang kalo duitnya abis, nyisa seribu. Dia ceritain kalo dari rumah cuma bawa duit Rp 40.000, dia rinci, tuh, untuk; angkot Rp 5.000, kereta Rp 3.000, Surat Kuasa Rp 30.000, fotokopi KTP Rp 1.000. Kan gue sedih, ya, dengernya. Gue tawarin apa mau gue transfer dulu buat jajan di sana atau beli makan. Tapi dia nolak, katanya gak usah soalnya baru makan bekal nasi juga, masih kenyang. Kalo buat ongkos pulang mah gampang soalnya ini lagi sambil nunggu antrian pengembalian uang sisa tilang. Terus gue sepik-sepik nawarin lagi, ya takutnya lu mau beli es atau apa gitu, dan dia nolak untuk kedua kalinya. Bagus lah kata gue dalam hati.
Setelah menyerahkan Surat Kuasa bertanda tangan beserta uangnya, kemudian sepupu gue dan ratusan orang lainnya dipersilakan mengantri di BRI untuk pengambilan sisa uang tilang. Ih, sumpah ribet!
Di Bank BRI lagi-lagi harus ngantri dengan puluhan (atau mungkin ratusan) orang lainnya. Sepupu gue ini, karena mau ngejar jadwal kereta pulang yang jam setengah satu, dia ngerengek ke satpam supaya minta didahulukan karena rumahnya jauh, dan kereta terakhir pukul 14.30, sedangkan antrian masih panjang mengular dari Sabang sampai Merauke. Tapi dia malah dicuekin dan dimarahin sama satpamnya,
"Gak bisa, Bu! Ibu harus tetep ikut ngantri!" kata satpamnya.
"Tapi, Pak, kereta terakhir ..." jawab sepupu gue yang belum kelar.
Berkali-kali sepupu gue membujuk, berkali-kali pula si satpam melengos tak menghiraukan.
Lama tuh dia nunggu belum dipanggil juga. Tak lama adzan Dzuhur berkumandang. Dengan sisa uang seribu rupiah yang nyelip di kantong, dia jalan kaki pergi ke mesjid terdekat.
Selepas solat dan hendak pergi mengantri lagi di bank, dia berpapasan dengan seorang pengemis menengadahkan tangannya. Berdasarkan cerita dari sepupu gue, dia sempet mikir, ini duit yang tinggal seribu-seribunya ini mau dikasihin ke pengemis atau buat beli Teh Sisri aja?
Dikasih lah itu akhirnya si duit seribu ke pengemis tadi. Dia lanjut jalan tanpa memikirkan apa pun.
Pas nyampe di depan gerbang, dilihatnya antrian masih banyak berjejal. Karena menurut informasi, yang terjaring Operasi Zebra mencapai angka ribuan untuk wilayah Rangkasbitung saja. Kalo dipanggil berdasarkan nomor urut, pasti dia akan kebagian sekitar jam tiga lewat. Sudah pasti akan ketinggalan kereta yang jadwal terakhir.
Sambil nyari tempat yang bisa diduduki, karena sudah pasti jarang ada bangku dan ruang kosong di tengah kerumunan massa yang kena tilang tersebut, sepupu gue ini iseng nanya ke satpamnya lagi, "Pak, saya bisa minta tolong didahulukan karena saya ngejar kereta terakhir?" Tak disangka, satpamnya tidak melengos dan bilang, "Yaudah Ibu masuk aja ke dalem temuin Pak Yudi." Lah???
Masuklah dia. Ketemu dengan Pak Yudi dan mengutarakan niatnya. Gak banyak cincong, tak sampai lima menit, dia serahkan slipnya, langsung diserahkan sisa uang tilangnya. Lah??? Sementara orang-orang di luar masih mengantri, dia seorang diberi kemudahan. Dan si Pak Yudi ini menyarankan agar sepupu gue langsung mengambil STNK-nya di pengadilan dengan membawa selembar kertas yang dia kasih. Walaupun pada akhirnya sepupu gue memutuskan untuk mengambilnya esok hari, karena mau bergegas ngejar kereta terakhir.
Selama perjalanan pulang dia gak berpikir apa-apa, pokoknya pengen cepet pulang ketemu anaknya yang pagi tadi sempat nangis karena ditinggal.
Sesampainya di rumah dia dikasih tau mertuanya kalo dagangannya yang biasa dia kreditin banyak yang ngambil dan bayar cash. Biasanya orang-orang ngambil barang di dia, ya, ngutang, kredit, atau tempo. Gak mikir apa-apa dia. Biasa aja. Tapi rupanya dia gelisah sama kejadian yang barusan dan kejadian tadi di pengadilan. Kejadian yang menurut dia gak diduga, diberi kemudahan setelah sebelumnya sempat tak dihiraukan, dan begitu pulang barang dagangannya banyak yang ngambil. Dia sempat berpikir apa karena uang yang dia kasih, yang tinggal seribu-seribunya itu. Padahal memang niatnya memberi tanpa pamrih, tapi Allah kasih kemudahan. Wallahualam.
Gue denger dia cerita begitu di telepon tadi kayak yang... "Oh, iya, Allah tuh kasih kita rejeki dan kemudahan atau apapun itu dengan caraNya sendiri yang gak pernah kita duga."
Ini kejadian yang bikin gue dan sepupu gue itu berpikir kalau ada istilah "di setiap kejadian ambil hikmahnya" itu benar adanya.
Mungkin gue gak bisa menyentuh hati yang baca tulisan ini karena tata bahasa gue yang kacau, mungkin dianggap "ahelah kejadian gitu doang geh lebay", dan sejuta kemungkinan yang lain. Gaya bahasa gue gak kaya tulisan di broadcast-an WhatsApp yang bisa membuat orang yang baru melek internet menelan mentah-mentah berita hoax menjadi pesan berantai.
Wassalam.
No comments:
Post a Comment